ROMEO-JULIET DAN LAYLA-MAJNUN:
BUKAN KISAH PERCINTAAN BIASA




“Apakah arti sebuah nama?”
Apakah yang disebut Montague?
Ia bukan tangan, apalagi kaki
Bukan lengan, bukan wajah, bukan pula segala macam bagian tubuh manusia.



Percayakah Anda bahwa penulis drama Romeo-Juliet, William Shakespeare, ternyata tidak nyata? Beberapa sumber menyatakan bahwa nama Shakespeare berasal dari kata “Syekh Pir” (Guru). Drama Romeo-Juliet sendiri secara umum ditafsirkan sebagai kisah percintaan yang tak terwujud. Seorang pemuda dari keluarga Montague bernama Romeo Montague bertemu dan jatuh cinta pada Juliet Capulet. Kedua keluarga (Montague dan Capulet) bermusuhan. Dengan demikian, Romeo dan Juliet tidak bisa berhubungan. Kehidupan pasangan yang dimabuk asmara itu semakin rusak ketka Romeo memiliki “dosa asal” membunuh seorang Capulet. Dikisahkan, Mercutio sahabat Romeo dihabisi sepupu Juliet, Tybalt. Romeo membalas tindakan tersebut dengan membunuh Tybalt. Kejadian ini tentu saja menjad cacat tersendiri dalam percintaan mereka. Sementara itu, Juliet juga hendak dinikahkan dengan orang lain, Paris. Juliet berkonsultasi kepada Friar Laurence. Sang Friar mengusulkan rencana agar Juliet berpura-pura mati dengan meminum racun yang diolah sedemikian rupa. Juliet memang akan “mati”, tapi sebenarnya ia hanya pingsan atau tidur sementara waktu. Dengan demikian, Juliet akan dimakamkan. Saat itulah nanti Romeo akan menjemputnya; akan membawa Juliet pergi. Naas bagi Romeo, ia sama sekali tidak mengetahui rencana Friar Laurence karena surat yang dikirimkan Friar gagal sampai. Ia buru-buru mendatangi makam dengan membawa racun yang dibelinya dari The Apothecary, melihat Juliet yang “mati”, berkelahi dengan Paris hingga Paris mati. Melihat sang kekasih sudah “mendahuluinya”, Romeo menangis dan memutuskan bunuh diri. Ketika Juliet tersadar dan mendapati Romeo mati, ia bunuh diri pula.
Banyak yang berpendapat bahwa kisah Romeo and Juliet ditulis Shakespeare untuk menunjukkan betapa buruknya feodalisme; mengurung cinta yang merupakan kebebasan hakiki manusia. Kematian Romeo dan Juliet yang tragis menggambarkan bahwa ketika kehidupan sudah dipenuhi sekat-sekat, perseteruan antar manusia, kehidupan tersebut tidak mampu lagi menampung mimpi. Bunuh dirinya Romeo kemudian Juliet adalah bentuk pencarian mimpi tersebut, atau dalam kata lain, “jika cinta memang tidak bisa terjangkau; maka buatlah segalanya benar-benar tidak terjangkau”.
Dalam artikel “Romeo and Juliet dan The Peony Pavilion: Sebuah Telaah Sastra Bandingan” karya Li Hui-lin, Sun Yun-bo, Ren Zhao-ying, dan Li Gui-li, dijelaskan bahwa ketika Shakespeare menulis Romeo and Juliet, Eropa tengah memasuki zaman Ressaisance. Pada saat itu, tatanan ekonomi dan sosial yang lama mulai berganti. Gereja Katolik, sebagai otoritas tertinggi Barat saat itu, diserang habis-habisan oleh Reformasi Gereja; yang membuka kedok Gereja dalam memperjualbelikan pahala dan dosa. Sementara itu, orang-orang Eropa tengah melakukan penjelajahan dunia demi membuka cakrawala perdagangan yang lebih luas; yang kemudian berimplikasi pada kolonialisme pada benua-benua Afrika, Asia, dan Amerika. Di lain pihak, pengagungan Tuhan dan akhirat (hidup sesudah mati) berubah menjadi pengagungan manusia dan kepuasan hidup duniawi. Shakespeare dengan jitu membuat Romeo dan Juliet menjadi oposisi terhadap pandangan masyarakat baru ini; sekaligus oposisi pula terhadap pandangan feodalisme yang berkausa di Eropa sebelumnya. Kematian Romeo dan Juliet adalah pemberontakan kepada tatanan. Romeo dan Juliet seolah melontarkan pertanyaan, “manusia yang berhasil lepas dari sistem yang lama dan mulai terjebak sistem yang baru, bisakah kalian seperti kami yang tidak terkungkung apa pun? Ketika kungkungan terhadap kami meluas, kami merusaknya; merusak diri kami pun tak masalah karena cinta tidak boleh terkungkung”.

Layla dan Majnun
Kisah Layla dan Majnun secara garis besar mirip dengan Romeo-Juliet. Dikisahkan, seorang pemuda bernama Qays begitu tergila-gila kepada Layla, seorang gadis dari keluarga terhormat. Keduanya bersekolah di tempat yang sama. Keduanya saling jatuh cinta. Semakin hari, kobaran cinta itu memakin membara. Sekolah tidak lagi menjadi tempat mencari ilmu, tetapi menjadi tempat persuaan sepasang kekasih. Tentu saja bagi keluarga Layla hal ini adalah aib. Pada zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis yang semuda Layla diburu seseorang. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarang Layla pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar. Begitu Layla tidak ada, Qays merasa kehilangan. Ia mencari Layla kesana kemari dan mulai menciptakan sajak-sajak cinta. Sejak saat itulah Qays dipanggil dengan sebutan “Majnun”.
Layla diungsikan ke rumah, dipingit berhari-hari. Tapi, Majnun pantang menyerah. Ia berhasil mendirikan gubuk tempatnya mencuri kesempatan melihat Layla. Ketika penjagaan rumah Layla begitu ketat, bersama teman-temannya Majnun menerobos masuk. Bertemulah keduanya setelah sekian lama terpisah. Tak sepatah kata pun terucap, tapi pandangan mata dan gerak tubuh mereka menandakan cinta yang menggebu-gebu. Begitu para pengawal mengetahui Majnun datang, mereka berusaha mengepung kamar Layla. Beruntunglah Majnun kabur terlebih dahulu meski artinya kembali berpisah lagi dari sang kekasih hati.
Keterpisahan Majnun dengan Layla semakin menjadi ketika ayah Layla dan ayah Majnun sama-sama menginginkan perpisahan keduanya. Ayah Majnun sempat menawarkan berbagai gadis cantik, tapi Majnun bergeming. Ayah Layla bahkan pada akhirnya, mirip dengan yang terjadi pada Juliet, menikahkan Layla. Sang gadis tetap saja tidak mau menyerahkan cinta kepada orang lain; hanya kepada Majnun saja cinta Layla diberikan.
Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Kerinduan sepasang kekasih itu membuncah hebat; dan semakin membara meskipun jarak memautkan. Bahkan, karena jarak inilah justru cinta Majnun dan Layla semakin kekal. Akhirnya, Layla meninggal dalam kerinduannya pada Majnun. Sementara itu, Majnun yang sudah diusir dari masyarakatnya, mendengar kabar kematian Layla. Dengan tubuh lemah, ia memaksakan diri ke makam Layla. Sama seperti Romeo yang mati di altar, di atas peti Juliet, Majnun juga mengembuskan nafas terakhir di makam Layla. Kelak, setahun kemudian, ketika keluarga Layla mengunjungi makam Layla, betapa terkejutnya mereka melihat sosok mayat Majnun yang keadaannya masih begitu segar; tidak membusuk.
Konon, tak lama sesudah peristiwa tersebut, ada seorang Sufi yang bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkan Majnun di sisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?” Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik oleh Allah, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang? Layla harus menderita ketika menikah dengan orang lain, bukan dengan Majnun. Begitu pikiran ini terlintas dalam benak sang sufi, Allah pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri; tidak mengumbarnya pada orang lain. Layla menikmati setiap bahagia dan derita cintanya.”

Kesamaan Pola dalam Kisah Romeo-Juliet dan Layla-Majnun
Baik Romeo-Juliet maupun Layla-Majnun sering hanya dianggap sebagai kisah sepasang kekasih patah hati. Mereka tidak bisa bersatu di dunia, kemudian memilih bersatu di akhirat dengan kematian. Keduanya sama-sama tidak diizinkan bersama oleh orang tua masing-masing. Jika Romeo dan Juliet mesti berpisah karena permusuhan Montague dan Capulet, Layla dan Majnun terpaksa berpisah demi mempertahankan kehormatan keluarga masing-masing.
Dikisahkan, ayah Majnun adalah seorang kepala suku. Sebelum kelahiran Majnun (saat itu masih bernama Qays), ayah dan ibunya sempat berputus asa karena belum mempunyai anak. Begitu mereka berdua sujud pada sebuah malam kepada Allah semata, beberapa saat kemudian istri sang kepala suku hamil. Yang peru dicatat, sang kepala suku berdoa kepada Allah sebagai berikut, “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”. Kelak, jika kita menggunakan perspektif yang benar, kita akan menyadari bahwa Allah mengabulkan semua doa sang kepala suku. Anaknya, Qays Si Majnun akan menjadi pemuda kebanggan Allah meskipun bagi umat manusia ia sangat tergila-gila dengan cinta.
Sementara itu, ayah Layla jelas memiliki aib yang besar di masyarakat ketika anak gadisnya yang semestinya bersekolah dengan benar, justru jatuh cinta kepada Qays. Artinya, Layla tidak bisa memuaskan keinginan sang ayah agar bersekolah saja. Kita bisa melihat bahwa dalam hal ini, Layla dan Qays melawan konstruksi sosial yang ada, sama seperti Romeo dan Juliet. Mereka jatuh cinta di sekolah; sesuatu yang memalukan saat itu. Tapi, jika dikembalikan, mengapa jatuh cinta di sekolah harus dianggap aib? Siapakah yang menciptakan aturan demikian? Bukankah yang menciptakan kerumitan semacam itu hanyalah manusia? Bukankah Layla dan Majnun hanyalah korban adat yang kaku, yang tidak menoleransi apa pun di luar diri adat tersebut? Padahal, adat dibuat oleh manusia.
Seharusnya, manusialah yang mengendalikan adat, bukan sebaliknya. Selama adat masih sesuai dengan kebaikan (yang sifatnya universal); adat itu layak dipertahankan. Tapi, ketika adat justru melahirkan kejahatan (membuat orang gagal jatuh cinta jelas termasuk kejahatan terbesar), sudah seharusnya manusia menghancurkan adat tersebut. Kenyataannya, tidak demikian. Adat (dalam masyarakat sekarang bisa diperluas sebagai undang-undang, dasar negara, hukum, dan sebagainya) seolah menjadi senjata ampuh untuk membungkam orang-orang yang menentangnya. Contoh sepele, seseorang yang tidak mau mendaftarkan diri sebagai PNS atau tidak mau bekerja di kantor, akan diolok-olok atau dipojokkan masyarakat karena masyarakat berpikir pendek: semua yang bekerja seharusnya memiliki kantor; berada di bawah sebuah instansi resmi. Dari hal ini saja, kita bisa melihat bahwa sebenarnya masyarakat kita terbiasa dengan hidup diperbudak; disuruh orang lain; yang penting mendapatkan hasil. Maka, siapa pun yang tidak mau diperbudak, yang menemukan cara lain dari sistem yang dianggap sudah “sistematis” ini, dianggap sebagai bukan bagian dari masyarakat atau dianggap rendah. Sama seperti Qays dan Layla. Mereka hanya jatuh cinta pada masa sekolah; tidak ada perbuatan lain yang jahat, misalnya mereka membunuh atau mencederai orang lain. Tapi, hukuman atas jatuh cinta ternyata lebih hebat daripada hukuman atas kesalahan yang senyatanya.
Sikap pantang menyerah Qays yang mencipta sajak dan mencari Layla hingga menyusup ke dalam rumah Layla jelas menunjukkan pemberontakannya atas aturan tolol dalam adat mereka. Ketika ayah Qays Si Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk menutupi “aib” keluarga Layla dan keluarganya sendiri dengan melamar Layla untuk Qays. Dengan sebuah kafilah penuh harta, sang kepala suku menjumpai Ayah Layla. Hal pertama yang dikatakan ayah Qays si Majnun adalah “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu Cinta dan Kekayaan. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu. Aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.”.
Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qays dan bukan aku tak percaya kepadamu. Sebagai kepala suku, tentu engkau sangat mulia dan terhormat. Tapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku aneh Majnun. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti juga hidup bersama hewan-hewan menjauhi orang banyak. Katakan, jika engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?” Mendengar jawaban Ayah Layla, Ayah Qays terdiam dan dalam hati membenarkan pendapatnya.
Memang, setelah Layla tidak masuk sekolah, Qays yang dimabuk asmara, benar-benar dalam keadaan “gila”. Qays tidak bisa menemukan kekasih hatinya. Maka, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengungkapkan perasaannya; menumpahkan kerinduan. Jadilah Qays tidak hanya mencipta sajak, tetapi juga melakukan tindakan-tindakan melawan adat setempat. Qays berpakaian compang-camping, mendirikan gubuk di tempat terpencil yang memungkinkannya melihat rumah Layla, dan berteman dengan binatang. Qays juga lebih menghormati siapa pun karena ia menganggap siapa pun seolah merepresentasikan Layla. Jika ia berbuat baik dengan orang lain, Qays berharap demikian pula yang terjadi pada Layla.
Dengan pernyataan ayah Layla dan kesetujuan ayah Qays, Layla dan Qays secara adat “resmi berpisah”. Tapi, apalah arti adat? Kegilaannya semakin hebat. Cintanya pun demikian. Kita mengenal bahwa jika cinta biasa dipisahkan, cinta tersebut akan lenyap. Tapi, cinta yang luar biasa justru akan terlatih dan semakin menguat jika terpisahkan. Tidak perlu jauh-jauh. Buktinya ada pada Adam dan Hawa. Keputusan Allah menjadikan mereka sebagai khalifah bumi, kemudian menurunkan mereka karena memakan buah khuldi, bukankah menyiratkan perpisahan Adam dan Hawa dari pusat cinta mereka, Allah? Padahal, Allah sendiri yang menyatakan bahwa ketika manusia disempurnakan kejadiannya, saat itulah Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia. Ingatlah pula sabda Nabi, “Allah menciptakan Adam dengan bentuk-Nya” atau bisa dipahami “Allah menciptakan Adam (manusia) dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri”. Sebagaimana dijelaskan bahwa segala sesuatu yang berpasangan selalu mendekatkan diri kepada yang “sejenis”, demikian pula yang seharusnya terjadi pada Adam dan Hawa. Seharusnya, mereka tetap berada di surga. Tapi, Allah sudah menetapkan bahwa Adam dan Hawa harus turun ke bumi, menjadi khalifah. Adam mengambil risiko terpisah dari Allah. Ia memilih terjerembab dalam permainan tipuan buah khuldi ala iblis. Tujuannya adalah membuktikan cinta kepada Allah. Dengan berada di bumi, Adam memang hanya memiliki dua kemungkinan.
Pertama, ia akan melupakan Allah jika ia hanya manusia biasa yang tidak mengenal cinta. Jika Adam memilih bertindak demikian, tentu ia bukan sesuatu yang layak dibanggakan Allah seperti yang difirmankan dalam Q.S. 2:30. Bukankah ketika Allah berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, para malaikat membantah Allah dengan berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih? Kami memuji Engkau dan mensucikan Engkau!”. Para malaikat melakukan ibadah ini karena mereka berada dalam kedekatan pada Allah. Selain itu, pengetahuan mereka juga sangat terbatas. Mendengar bantahan malaikat, Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Jika Adam langsung melupakan Allah dan terjerumus pada kehidupan dunia, jelas Adam tidak memiliki kualitas yang diketahui Allah, tapi tidak diketahui malaikat, yaitu kualitas cinta tadi.
Kedua, tentu saja berkebalikan dengan yang pertama, Adam akan menjadi sosok yang tahan ujian. Ia tidak hanya membuktikan cinta dalam keadaan biasa, tetapi juga mempertahankan cinta ketika memiliki jarak yang begitu jauh dari Allah. Sementara manusia biasa kadang berselingkuh ketika berada dalam jarak jauh dari pasangannya, ketika seakan pasangannya tidak mampu melihat, Adam tidak melakukan tindakan rendahan tersebut. Orang-orang yang berselingkuh karena jarak jauh menunjukkan bahwa mereka hanya mencintai diri sendiri saja. Ketika dirinya membutuhkan cinta, ia mencari cinta terdekat yang bisa melampiaskan perasaannya. Tapi, orang yang setia, tidak perlu embel-embel jarak semacam itu. Orang yang setia jelas memiliki cinta kepada pasangan yang jauh lebih besar daripada cinta kepada diri sendiri. Bagaimana tidak? Ketika ada peluang berselingkuh, ketika jarak begitu membentang, ia sadar bahwa jika ia melakukan perselingkuhan, yang terjadi adalah luka hati bagi sang kekasih. Orang yang tega membiarkan kekasihnya terluka karena tindakannya sendiri jelas tidak bisa dikategorikan sebagai pencinta. Adam membuktikan bahwa ia sangat setia kepada Allah. Ia menerima semua tanggungan: Adam pernah diremehkan malaikat, ditolak untuk disujudi Iblis, dihasut Iblis agar memakan buah khuldi, lalu ditambah diturunkan ke dunia. Itulah harga yang harus ditanggung oleh pecinta sejati. Meskipun dunia diciptakan untuk menjadi penggoda Adam, ia sama sekali tidak goyah. Tujuannya adalah Allah semata. Kita bisa merekam perjuangan Adam ini dengan singkat melalui sajak “Genesis” berikut.

GENESIS

Adam tak pernah terusir …
Malaikat merapat berjajar belajar memahami hakikat cintamu
yang tertuang dalam rahasia penciptaan Adam sang nihil
“Bersujudlah padanya seperti kau bersujud padaku.
Akulah cinta di seberang cinta!”

Tetapi mengapa salah satu yang angkuh
menolak dan memalingkan muka?
“Tuhan engkau menciptakanku
dari api sedang dia dari tanah hitam.”

(Tuhan berkata pada Iblis)
“Apakah engkau hanya melihat Adam dalam wujud terlihat
Lihatlah di balik tanah itu tersembunyi jutaan rahasiaku.
Dusta apa lagi yang sedang kaurancang
makhluk dungu pemuja berhala!”

(Tuhan berkata pada Adam)
“Meski kelak engkau mengunyah buah salah
Engkau tak pernah melanggar hukumku
Kuturunkan kau ke bumi sebagai pemimpin
yang mengajarkan cinta ke seluruh penjuru alam semesta”

“Tuhan, kami adalah tempat dosa dan kejahatan berpulang.
Kuberjalan di dunia demi cinta yang belum terlihat
Dan bila tiba waktu kembali akan kulewati tujuh langit
menujumu melebihi segala makhluk yang pernah Kaucipta”


Allah meletakkan Adam di bumi sebagai khalifah dengan tujuan menampakkan cinta Allah kepada seluruh makhluk. Ketika tubuh Adam mati, tanggung jawab menampakkan cinta tersebut beralih kepada keturunannya. Bukan sebuah kebetulan jika Nabi Muhammad saw., keturunan Adam yang paling unggul, kemudian menjadi suri teladan bagi siapa pun yang ada di alam semesta ini, baik yang kasat mata maupun tidak. Lalu, ketika tiba waktu kembali, ketika manusia dikumpulkan pada Hari Kebangkitan lalu dibalas atas segala perbuatannya di dunia, ingatlah posisi spesial manusia. Hanya manusialah (mereka yang masuk surga) yang mendapatkan kesempatan melihat Allah, kenikmatan terbesar di Akhirat. Dengan demikian, Adam dan keturunannya membuktikan bahwa mereka memag melebihi semua makhluk yang pernah diciptakan Allah.
Kembali kepada keberjarakan yang menghiasai kisah Qays dan Layla, bukankah perburuan Qays terhadap Layla menunjukkan pola yang sama dengan keberadaan Adam di dunia? Bukankah kebiasaan “gila” Qays untuk menjadi bahan olok-olokan masyarakat identik dengan keadaan Adam yang sempat diragukan malaikat dan ditolak oleh Iblis? Dengan demikian, kita sudah sepantasnya curiga dengan kisah Layla-Majnun. Pasti ada apa-apa dalam kisah ini. Setidaknya, kisah ini senafas dengan keadaan manusia di dunia.
Lalu, bagaimana dengan Romeo dan Juliet? Apakah kedua tokoh ini tenggelam begitu saja dengan kisah Layla-Majnun? Romeo dan Juliet dapat dikatakan menjadi adaptasi paling tepat atas kisah Layla-Majnun di tanah Barat yang belum terlalu mengenal Islam. Kalau Anda membaca buku Dahsyatnya Energi Sabar, pengadaptasian sebuah karya dalam kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan asal karya tersebut bukanlah hal baru. Misalnya, di tanah Jawa muncul Serat Dewa Ruci, kisah tentang pencarian air kehidupan oleh Bima hingga bertemu seorang dewa yang ukurannya sangat kecil bernama Dewa Ruci yang sebenarnya adalah representasi Tuhan. Cerita ini diadaptasi dari kisah pertemuan Nabi Khidr dan Sunan Kalijaga; yang menunjukkan transmisi pengetahuan agama yang dilakukan Nabi Khidr (representasi Arab, pusat Islam, dekat dengan Nabi Muhammad saw.) kepada Sunan Kalijaga sebagai representasi orang Jawa, yang dalam kisah tersebut menjadi sasaran dakwah Islam. Kisah Nabi Khidr dan Sunan Kalijaga sendiri bukan kisah babon (kisah utama). Kisah ini bisa dilacak berasal dari Alquran, tepatnya Q.S. 18:60—82, yaitu kisah pengajaran yang dilakukan oleh Nabi Khidr kepada Nabi Musa. Saat itu, Nabi Musa menganggap dirinya sebagai manusia tercerdas. Tapi, ketika berhadapan dengan Nabi Khidr, Nabi Musa benar-benar menjadi orang yang “bodoh” karena tidak bisa sabar menghadapi tiga kasus yang diujikan Nabi Khidr. Sebuah “kebetulan” jika kita menyadari bahwa Sunan Kalijaga adalah Wali Songo (penyebar Islam di Jawa) yang paling cerdas, mirip dengan Nabi Musa. Sementara itu, Bima yang mencari air kehidupan adalah sosok paling berani dalam Pandawa. Kesimpulan dari penjabaran perbandingan Serat Dewaruci, kisah Nabi Khidr-Sunan Kalijaga, dan Nabi Khidr-Musa, ternyata sebuah kisah yang dimasukkan ke dalam kebudayaan berbeda, tidak harus sama persis. Ada perubahan-perubahan tertentu yang disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Demikian pula dengan kisah Layla-Majnun ke dalam Romeo-Juliet yang ada di Eropa.
Sekilas, tidak ada nilai-nilai Islami dalam Romeo dan Juliet. Tapi, sebenarnya kedua kisah nyaris sama persis. Misalnya, pengejaran Romeo kepada Juliet yang terlalu mirip dengan Qays pada Layla, hubungan dua keluarga yang sama-sama tegang dan tidak memungkinkan pernikahan sepasang kekasih tersebut, pilihan orang tua tokoh utama perempuan (Layla, Juliet) untuk menikahkan sang puteri, kematian tokoh utama perempuan lebih dahulu daripada tokoh utama lelaki (meski Juliet pura-pura mati, Romeo tetap menganggapnya mati), dan terakhir keputusan tokoh utama untuk mati menyusul kekasihnya, seolah-olah menandakan bahwa dalam kedua kisah tersebut hanya nama dan setting yang berubah. Polanya terlalu sama. Lalu, jika Romeo-Juliet dan Layla-Majnun sama, bagaimana kita mengetahui ada pesan rahasia di dalam kedua kisah tersebut; pesan yang berkaitan dengan Cinta?

Qays dan Ishak
Kita bisa memulai dari pembedahan bagian awal kisah Layla-Majnun. Qays mirip sekali dengan Ishak. Ia adalah keturunan yang sangat dinanti-nantikan oleh orang tuanya, kepala suku Bani Umar. Sementara itu, Ishak lahir di usia Ibrahim yang sudah sangat uzur. Peristiwa menjelang kelahiran Qays dan Ishak pun mirip. Dalam Q.S. 11:69—74 dan 15:51—58, Nabi Ibrahim dan Siti Sarah didatangi malaikat yang menyampaikan kabar gembira tentang akan lahirnya Ishak. Pada Q.S. 11:71—72, yang tidak percaya dengan ucapan malaikat adalah Siti Sarah.



“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Yakub.”



Istrinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”


Sementara itu, dalam Q.S. 15:54, yang terkejut dengan pernyataan malaikat bahwa Ibrahim akan berputra adalah Ibrahim. Ia begitu gembira sekaligus setengah tidak percaya memperoleh keberuntungan diberi titipan anak oleh Allah.



Berkata Ibrahim: “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?”

Sementara itu, menjelang kelahiran Qays, meski tanpa bantuan malaikat, sang kepala suku Bani Umar dan istrinya sama-sama berusaha melakukan berbagai cara demi mendapatkan anak. Bahkan, meski obat dan ramuan tabib terkenal sudah dicoba, tapi tidak ada hasilnya. Ketika berada dalam keputusasaan itulah sang istri menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Allah. Sang kepala suku menjawab, “kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi. Tak ada ruginya.”. Dalam kisah Layla-Majnun, kedua orang tua sama-sama putus pengharapan. Barulah ketika sang istri, yang akan mengandung anak, meminta kepada suaminya sekali lagi bersujud, Allah memperkenankan doa tersebut. Di sini yang bisa kita petik adalah pentingnya kesiapan seseorang yang akan menampung ujian. Sebelum istri kepala suku Bani Umar menyatakan kesiapannya dengan meminta suaminya bersujud, berserah diri, Allah belum mau mengabulkan doa mereka. Istri kepala suku tersebut tentu saja tetap bertujuan memiliki anak, tapi tindakannya bersama sang suami bersujud sama dengan keadaan Nabi Ibrahim dan Siti Sarah yang “meragukan pernyataan malaikat”. Pada satu sisi, mereka mengharapkan kehadiran seorang anak. Pada sisi lain, mereka juga tidak menuntut apa-apa karena menyadari tuanya usia yang nyaris tidak mungkin memiliki anak jika tanpa bantuan Allah.
Ishak dan Qays pun sama-sama membahagiakan orang tua mereka. Derajat Qays misalnya, digambarkan sebagai berikut. “Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.”. Sementara itu,


Qays dan Layla Sang Malam
Selanjutnya, Qays dikisahkan jatuh cinta kepada Layla di sekolah. Kita bisa memperhatikan bahwa nama Layla berarti “malam”. Keduanya jatuh cinta. Karena takut menjadi aib, Layla diungsikan keluarganya ke rumah. Sejak saat itu, Qays menjadi seorang gila sehingga dipanggil sebagai Majnun. Secara umum, Layla-Majnun bisa diterjemahkan sebagai Malam dan Si Gila. Kita bisa melacak bahwa orang-orang gila” yang memiliki keterkaitan dengan malam adalah para sufi. Dalam Pengantar Wisdom of The Idiots, Idries Shah menjelaskan bahwa para sufi sering memakai kata gila atau idiot untuk menyebut diri mereka sendiri. Alasannya mudah. Biasanya, orang-orang yang diakui umum sebagai orang bijaksana (atau dalam tataran tertentu disebut sebagai ulama atau ahli agama) sering mengaku memiliki kebijaksanaan sejati, padahal kebijaksanaan mereka tersebut tak lebih dari hasil pemikiran sempit yang cuma mengandalkan logika. Oleh para sufi, orang-orang “bijaksana” ini dianggap sebagai idiot yang memungkiri keberadaan Sang Cahaya Sejati, Allah. Maka, sebagai kebalikannya, para sufi menyebut diri sebagai idiot untuk menyindir sekaligus memberi pemahaman pada orang-orang “bijaksana” tadi. Lagipula, seorang sufi memang terbiasa menyatakan hal-hal yang dianggap idiot oleh orang “bijaksana” atau umat beragama. Misalnya, sufi terbiasa berkata sebagai berikut.

Jika seorang Muslim tahu apa itu sebuah berhala
Dia akan tahu bahwa ada agama dalam pemujaan terhadap berhala
Jika penyembah berhala tahu apa itu agama
Dia akan tahu di mana diri telah tersesat
Dia melihat tidak ada apa-apa di dalam berhala kecuali ciptaan yang nyata:
Inilah alasan mengapa di dalam hukum Islam, diri seseorang disebut kafir.
(Syabistari, Gulshari-i-Raz).

Hingga kolese dan menara telah runtuh
Karya suci kita ini tidak akan selesai.
Hingga keimanan menjadi pengingkaran, dan pengingkaran menjadi keyakinan
Di sana tidak akan ada Muslim sejati.
(Abu Said bin Abi al-Khair)

Apa yang dapat Aku kerjakan, wahai orang-orang Muslim?
Aku tidak dapat mengetahui diriku.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan Muslim.
Bukan dari Timur, ataupun dari Barat
(Jalaluddin ar-Rumi, Diwan-i-Syams-i-Tabriz)

Ucapan-ucapan di atas, jika dipahami dari pola pikir yang pendek, tentu akan menghasilkan pendapat negatif. Umat beragama yang terbiasa membenci umat lain dan mengunggulkan agamanya akan berkata bahwa para sufi adalah orang-orang kafir. Jika tidak demikian, para sufi adalah orang sesat yang bertujuan untuk membuat umat Islam tidak beriman. Sementara itu, orang-orang yang mengaku membela toleransi agama akan beranggapan bahwa para sufi tengah mengajarkan agama-agama di dunia memiliki tipe yang sama. Kalau tidak demikian, para sufi dianggap tengah mengatasi perbedaan-perbedaan kultural yang menaungi semua agama. Padahal, para sufi tidak pernah berkata bahwa mereka berkiblat pada semua agama. Sufi-sufi tersebut menyatakan bahwa pada titik tertentu, ketika agama sudah diformalisasikan sedemikian rupa dan mengalami degradasi yang sangat jauh daripada saat pertama kali diciptakan, pengetahuan seorang umat beragama tidak mungkin menjangkau Allah. Pengetahuan yang disebabkan oleh fanatisme sempit dan kebencian hanyalah pengetahuan yang mengandalkan otak. Sementara itu, akal manusia yang hakiki akan mampu melewati pengetahuan semacam itu untuk menjangkau Allah. Biasanya, orang yang menggunakan akal hakiki ini akan bertindak yang berada di luar kebiasaan umat beragama (maksudnya, umat beragama yang pengetahuannya sudah terdegradasi) sehingga oleh kebanyakan orang ia dianggap kafir padahal oleh Allah ia dianggap sebagai muslim sejati.
Selanjutnya, perlu dipahami pula bahwa bukan sembarangan para sufi menggunakan istilah idiot atau gila. Huruf-huruf Arab memiliki numerisasi tertentu. Misalnya, huruf ba’ bernilai 2 dan huruf qaf bernilai 100. Huruf-huruf yang menyusun kata “wali” jumlahnya sama dengan huruf yang menyusun kata “balid” (idiot, bodoh), yang kemudian bisa dialihkan menjadi “gila”, yang secara bahasa disebut Majnun. Para sufi memang merupakan wali Allah di dunia yang tujuannya menjelaskan pengetahuan ilahi kepada umat manusia. Misalnya, perilaku sufi yang terkait dengan kegilaan, dapat ditangkap dalam kisah berikut.
Terdapat orang gila yang tidak ikut ambil bagian dalam jamaah salat. Di hari Jumat, dengan penuh kesulitan, orang-orang membujuknya untuk hadir.
Tetapi ketika sang Imam memulai, orang gila tersebut justru melenguh seperti lembu jantan.
Orang-orang menyangka bahwa ia hanya sedang kambuh lagi gilanya, tetapi pada saat yang sama ingin membantunya. Sesudah shalat mereka menegurnya:
“Apakah engkau tidak berpikir tentang Allah, engkau bersuara seperti seekor binatang di tengah-tengah salat jamaah?”
Si orang gila menjawab:
“Aku hanya melakukan apa yang dikerjakan Imam. Ketika ia telah menekankan, ia membeli seekor lembu, maka aku pun bersuara seperti seekor lembu!”
Ketika jawaban aneh ini disampaikan kepada sang Imam, ia mengakui:
“Ketika aku menyebut Allahu Akbar, aku sedang memikirkan pertanianku. Dan ketika sampai pada alhamdulillah, aku berpikir bahwa aku akan membeli seekor lembu. Pada saat itulah aku mendengar suara lenguhan.”

Terkadang, para sufi sering bermusuhan dengan mereka yang otaknya terbatas logika atau umat beragama yang mendaku-daku. Misalnya, dua orang sufi, Husayn bin Manshur al-Hallaj dan ‘Ayn al-Qudat, digantung oleh pemerintahan yang korup karena dianggap melecehkan Islam padahal pemerintahan tersebutlah yang melecehkan Islam. Sebenarnya orang-orang yang melawan para sufi tersebut sudah dijamin akan diperangi oleh Allah. seperti yang dijelaskan dalam hadis qudsi berikut.

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pandangan yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk menamparnya dan kaki yang untuk berjalan olehnya. Jika ia memohon kepadaKu, niscaya Aku benar­-benat memberinya. Jika ia memohon kepadaKu, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku iakukan seperti kebimbanganKu terhadap jiwa hambaKu yang beriman yang mana ia tidak senang mati sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadapnya“. (H.R. Bukhari)

Kita bisa melihat janji Allah dalam memerangi musuh para wali-Nya tersebut pada kehidupan Qays dalam Layla-Majnun. Pertama, perlu disadari bahwa Layla yang berarti “malam” ini menandakan hal lain. Layla tidak dilihat dari keadaannya yang semata-mata perempuan. Dalam berbagai kisah, para sufi sering menggambarkan Tuhan sebagai sosok perempuan. Artinya, bukan menyamakan Allah dengan makhluk. Bagi para sufi, manusia yang sudah memiliki kesadaran ibarat laki-laki yang mengejar perempuan, berburu pengetahuan tentang Tuhan dan Hari Akhir. Jadi, Layla yang perempuan ini menunjukkan keberadaan Allah. Coba kita bandingkan “perempuan” sebagai representasi Allah dalam kisah Layla-Majnun ini dengan bait puisi Ibnu Arabi dalam karya fenomenalnya, Tarjuman Al-Asywaq dan penjelasannya dalam sajak “Perempuan Idaman” berikut.
Jika aku membungkuk kepadanya sebagai kewajibanku
Sementara dia tidak pernah menanggapi penghormatanku
Bukankah aku hanya menimbulkan keluhan?
Wanita rupawan tidak pernah mengundang rasa kewajiban.
(Ibnu Arabi, Tarjuman Al-Asywaq)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar