Simpul Cinta
Kita sudah membandingkan Romeo-Juliet dan Layla-Majnun dengan kisah Adam dan Hawa. Di sana-sini, terdapat kemiripan ketiga kisah tersebut. Yang perlu diperhatikan, kisah atau dongeng yang disampaikan sejak zaman tradisional bukan berarti tidak memiliki makna terdalam sama sekali. Ingatlah bahwa pada masa lalu, konsep agama begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang ruh akan mudah sekali ditemukan dalam kisah atau dongeng tersebut. Sementara itu, bagi kita, orang-orang modern yang seolah hanya mengetahui logika, kita terjebak pada kisah yang sekilas cuma mengumbar cinta tersebut. Pengetahuan kita begitu terbatas dan hal ini pernah disindir oleh Nabi. Terdapat riwayat sebagai berikut.

Nabi berkata, “akan tiba waktunya pengetahuan lenyap dari dunia.” Ziad berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin pengetahuan meninggalkan dunia sedangkan kami membaca Alquran dan mengajar nya kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami berbuat demikian pula kepada keturunannya, dan demikian seterusnya hingga hari kiamat?”. Nabi Muhammad saw. berkata, “Wahai Ziad, kusangka kau adalah salah satu orang paling terpelajar di Madinah. Bukankah orang Yahudi dan orang Nasrani juga membaca Alkitab dan Injil (kitab suci), tapi pengetahuan mereka lenyap?”

Bukan sebuah kebetulan jika Nizami sang pencipta kisah Layla-Majnun dan Shakespeare (yang dicurigai hanyalah nama samaran) sang pencipta kisah Romeo-Juliet menggunakan kisah cinta tokoh-tokoh pemuda dan perawan untuk menyampaikan pesan tentang Cinta Allah kepada manusia; keunggulan ruh manusia. Sepanjang sejarah, para sufi biasa menggunakan puisi cinta untuk mengungkapkan betapa agungnya Allah. Biasanya, tema-tema yang disampaikan pun disesuaikan dengan kenyataan terpisahnya ruh manusia dari Allah.
Begitu banyak puisi patah hati yang digubah para sufi, tetapi kemudian mengalami degradasi pemahaman sehingga menjadi puisi cinta biasa. Misalnya, term “Pangeran Cinta” yang ada di dalam masyarakat sering disebut merujuk pada lelaki playboy yang memiliki banyak kekasih atau bisa menaklukkan semua perempuan. Padahal, term “Pangeran Cinta” berasal dari seorang sufi bernama Ibnu Al-Farid. Ialah yang bergelar “Pangeran Cinta”, orang yang begitu mabuk kepada Tuhan sehingga menciptakan sajak-sajak cinta luar biasa.
Demikian pula jika kita memahami karya-karya Kahlil Gibran atau Ibnu Arabi. Kita sering menggunakan karya Kahlil Gibran hanya untuk sekadar kesenangan profan, mengutipnya untuk menghibur pasangan yang berduka, atau meluluhkan hatinya. Padahal, jika dipelajari, konsep perempuan-lelaki dalam karya Gibran dan Ibnu Arabi sebenarnya hanya merujuk pada satu hal: Tuhan yang Maha Segalanya, yang terpisah dari dunia, dan manusia yang mengejar-Nya, yang berusaha mendekatkan diri dengan kematian. Tak salah jika Kahlil Gibran berkata, “apalah arti kematian selain melepaskan nafas dari pasang-surutnya”.
Dalam tahapan tertentu, seperti yang sudah dikupas, pertemuan Allah dan manusia dapat diibaratkan dengan pertemuan lelaki dan wanita. Jadi, jika sepanjang pernikahan kita selalu menjaga hubungan, membahagiakan pasangan, membuat anak-anak tersenyum ceria, insya Allah setelah kematian, kita juga akan dimudahkan dalam bersua dengan Allah. Pernikahan adalah tanda penyatuan lelaki-perempuan, kematian adalah tanda penyatuan manusia kepada Allah sebagai tempat bermula dan kembali. Dengungan cinta kepada Allah akan senantiasa terdengar jika dalam rumah tangga kita masih ada begitu banyak cinta kepada-Nya, begitu banyak kerelaan berkorban seorang suami kepada istri dan anak-anaknya.
Pada suatu titik, kita bisa merujuk ucapan Nabi Muhammad saw., “Jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan kuperintahkan agar para istri menyembah suami-suami mereka”. Dalam hal ini, bukan berarti Nabi menyamakan suami dengan Allah. Suami yang telah berkorban segalanya demi kehidupan keluarganya, sebenarnya merepresentasikan Allah dalam tataran tertentu. Allah juga begitu banyak berkorban kepada kita. Sekian juta kesalahan manusia di dunia, terjerat nafsu duniawi, akan dihapuskan Allah sepanjang orang tersebut masih memegang cinta; masih menjaga imannya kepada Allah. Suami yang mampu mengajak istrinya untuk mencintai Allah jelas akan mendapatkan anugerah besar dari Allah berupa cinta yang tak terhingga pula: kebahagiaan keluarga di dunia dan akhirat. Apa lagi yang kita butuhkan selain hal tersebut?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar