PEREMPUAN IDAMAN
Jika aku bersujud kepadanya sebagai kewajiban
Sementara dia berpaling tak jua menanggapiku
Untuk apa beribadah yang menyisakan keluhan
Bahkan berdoa lebih mirip mengkhayal peluang
Peneliti agama berkomentar dari luar lapangan
Sewaktu-waktu memvonis kegagalan tak nyata
Umat beragama mengukir lelap di malam buta
Memaki yang menggugahnya menjelang subuh
Mereka sama-sama mengaku mencermati
Sejak kapankah agama perlu disembah?
Jangan beri dia nama karena hanya membatasinya
Begitu dia tampak, semua bebatuan akan terhanyut
Wanita rupawan tak pernah mengundang kewajiban
Perempuan idaman selalu bersembunyi di jantung
Apakah perempuan yang kami bicarakan
Sama seperti perempuan yang kauketahui?
Janganlah mengira ibadahmu dicatat dalam riwayat
Ada masanya dosa dan pahala usang tak terpakai
Wanita rupawan tak pernah mengundang kewajiban
Perempuan idaman selalu melegakan penghirupan
Perempuan idaman bukanlah sekadar barang mainan
Di kedalaman matanya kau beradu dengan kematian
Jika agama selalu menghasilkan kewajiban berkarat
Perempuan idaman selalu tersipu dikedipi jantung ini
Tentu akan sangat janggal jika kita menafsirkan sajak-sajak di atas
secara literal. Mana mungkin perempuan idaman tinggal di dalam jantung?
Di sinilah kita bisa memahami bahwa maksud penggunaan perempuan, maksud
Layla, adalah Allah yang selalu pasif jika dilihat dari sudut pandang
dunia. Bukankah kita sama sekali tidak bisa melihat Allah? Dengan
demikian, kita bisa menerima bahwa Qays yang tergila-gila pada Layla
adalah penggambaran orang-orang terlatih yang mencintai Allah.
Perlu disimak pula bahwa ketika Laila tidak ada di ruang kelas
sekolahnya, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah
dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan
memanggil-manggil nama Layla. Qays menggubah syair untuk Layla dan
membacakannya di jalan-jalan. Semua hal yang dibicarakan Qays selalu
berkaitan dengan Layla. Ia juga tidak menjawab pertanyaan orang-orang
kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan
berkata, ” Lihatlah Qais, ia sekarang telah menjadi seorang majnun,
gila!”. Di sinilah permulaan Qays disebut Majnun. Mudah saja menunjukkan
bahwa Qays adalah tipe para sufi. Sepanjang sejarahnya, para sufi
sangat dikenal sebagai penyair-penyair hebat yang melahirkan sajak-sajak
istimewa. Meskipun bagi sebagian orang sajak-sajak tersebut dianggap
sajak biasa, jika diperhatikan lebih detail, sajak para sufi
menyampaikan rahasia pengetahuan ilahi. Misalnya, Fariduddin Attar dari
Nishapur yang membuat sajak Musyawarah Para Burung. Sajak ini
menjelaskan adanya tujuh tahapan yang harus dilalui umat beragama dalam
mencapai Allah. Bisa disebutkan pula nama Jalaluddin Ar-Rumi yang
menciptakan Masnawi, kumpulan sajaknya yang mencapai 6 jilid. Saking
berkualitasnya isi Masnawi, sajak-sajak tersebut dikatakan sebagai
Alqurannya orang Persia. Ada pula Abdurrahman Bedil dari Hindustan yang
sajak-sajaknya seolah berasal dari planet lain. Jika merujuk pada sufi
kontemporer, kita bisa melihatnya pada sosok Faiz M yang menjadi
inspirator lirik-lirik lagu Ahmad Dhani yang berkaitan dengan Tuhan.
Misalnya, lagu “Pangeran Cinta”, “Mistikus Cinta”, “Satu”, “Hidup ini
Indah”, “Nonsens”, “Larut”, “Aku Bukan Siapa-Siapa”, “Dimensi”, hingga
yang paling jelas “Jika Cinta Allah”.
Kedekatan Qays pada sufisme juga bisa dilihat dari atribut-atribut
yang dipakainya dalam masa kegilaannya. Semisal, setelah ayah Layla
menolak lamaran ayah Qays, sebenarnya ayah Qays mengirim Qays untuk
menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan
membebaskan Qays dari cinta yang menghancurkan. Seperti halnya umat
beragama yang mengkultuskan tempat suci, sang ayah ingin agar doa Qays
dikabulkan dengan berharap Qays berdoa agar Allah menghilangkan Layla
dari ingatan. Apa yang dilakukan Qays? Ia malah berdoa, “Wahai Yang Maha
Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta,
aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja. Tinggikanlah cintaku sedemikian
rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap
hidup.”.
Sementara itu, kita juga bisa menciptakan sebuah pengalaman luar
biasa jika mampu menangkap maksud Nizami sang pengarang Layla-Majnun
dengan meletakkan Layla dan Majnun di lingkungan sekolah. Perhatikanlah
bahwa sekolah, tempat menimba ilmu agama, sebenarnya sama persis dengan
agama. Pada masa Nabi Muhammad saw., Allah begitu dekat dengan agama
yang dilambangkan dengan sekolah ini. Semua ibadah dan semua tingkah
laku muslim diselaraskan agar mampu menjangkau Allah. Tapi, seiring
dengan waktu, setelah Nabi Muhammad saw. dan para sahabat meninggal,
tidak ada lagi yang mengetahui pengetahuan rahasia tentang Allah.
Bahkan, ketika muncul orang seperti Qays, para sufi yang mendapatkan
pengetahuan rahasia dari Allah, yang terjadi sungguh menyedihkan. Demi
keberlangsungan sekolah, keberlangsungan tata-tertib agama, orang
seperti Qays “diasingkan”. Padahal, saat itu Allah (yang
direpresentasikan Layla) sudah tidak ada di dalam lingkup umat beragama
biasa. Allah telah “disingkirkan” ke tempat tersembunyi yang
direpresentasikan dengan rumah Layla. Tentu bukan berarti Allah bisa
ditaklukkan oleh umat beragama. Perumpamaan ini hanya ditujukan bahwa
umat beragama sudah menjadi terlalu angkuh dengan menghina orang-orang
seperti Qays yang jatuh cinta berlebihan pada Layla. Padahal, ketika
umat beragama berada dalam posisi dekat pada Allah (anak-anak sekolah
pada Layla) mereka tidak bisa menjangkau pemahaman cinta Qays. Karena
tidak paham, biasanya orang justru memperolok orang yang lebih paham.
Apalagi jika yang tidak paham itu banyak jumlahnya. Kisah Nabi Khidr
yang meminta semua orang menyimpan air yang sudah disampaikan di atas
menunjukkan hal ini. Ketika orang yang memiliki air muncul ke dunia, ia
justru dianggap aneh karena air bersihnya berbeda dengan air kotor yang
biasa diminum kebanyakan umat manusia.
Kembali pada keadaan Qays, setelah ditinggalkan Layla, kehidupan Qays
benar-benar hancur jika dilihat dari sudut pandang luar, sudut pandang
umat beragama biasa. Setelah menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak
mau lagi bergaul dengan masyarakat desanya, pergi ke pegunungan tanpa
memberitahu kemana ia pergi. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih
tinggal di reruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat
dan tinggal di dalamnya. Sama seperti halnya para sufi yang memilih
mengasingkan diri daripada dicerca atau difitnah umat beragama, jalan
inilah yang dipilih oleh Qays. Ia bagaikan benda asing yang bergulir
kencang di padang pasir, ditiup kian kemari. Baginya tidak masalah
karena ia menyadari posisinya memang bukan di dunia, tapi di akhirat.
Seberapa pun besarnya tiupan angin cobaan, jika seseorang sudah jatuh
cinta kepada Allah, yang diniatkan tentu hanya hari persuaan, kematian.
Oleh karena itu, wajar jika Nabi berkata, “kematian adalah hadiah
terbesar bagi seorang muslim”. Ya, apa lagi yang dirindukan selain
bersua dengan Allah
Lebih jauh, kita juga bisa melihat bagaimana Qays memakai pakaian
yang compang-camping. Misalnya, deskripsi seorang pengembara tentang
Qays adalah “seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu,
jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal”.
Dalam tradisi sufi, memakai baju berbulu domba atau menjahit pakaian
compang-camping adalah sebuah hal yang sangat mudah ditemui. Ingatlah
pula Nabi Muhammad saw. pernah diriwayatkan menjahit pakaian sederhana
beliau sendiri. Tujuan menjahit pakaian ini bukanlah menjahit pakaian
seperti biasanya, tetapi lebih menekankan pada keteraturan dalam
menjalani hidup; meningkatkan kesadaran bahwa hidup seolah berulang
setiap waktunya. Ada kalanya jahitan terkoyak, atau yang disebut nasib
sial. Jika hal itu terjadi, yang dilakukan adalah menjahit kembali
pakaian tersebut, atau “mengupayakan datangnya nasib baik” dalam versi
umat beragama biasa. Pemakaian baju yang dijahit sendiri juga menekankan
kepada para sufi agar mereka merasa senantiasa kurang. Dengan demikian,
keadaan kurang mereka bisa diibaratkan dengan keadaan miskin ilmu
sedangkan Allah Sang Pemberi Ilmu menjadi sosok yang Maha Kaya seperti
yang dijelaskan dalam Q.S. 47:38.
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan
(hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan
siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya
sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang
berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan
mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti
kamu ini.”
Dengan memahami bahwa Qays adalah representasi mereka yang mencari
Allah, keadaan compang-campingnya jelas selaras dengan Q.S. 47:38 dan
jelas mengadopsi pakaian kemiskinan yang digunakan sufi. Kita bisa
membandingkan keadaan Qays ini dengan keadaan seorang sufi, Nuh
Al-‘Ayyar dalam Kasyf Al-Mahjub berikut. “Aku (Nuh) memakai
baju tambalan agar aku bisa menjadi seorang sufi dan menjauh dari dosa
akibat rasa malu yang kurasakan terhadap Tuhan”. Demikian pula Qays. Ia
memakai baju tambalan sebagai bentuk kecintaannya kepada Allah. Bukankah
seharusnya jika seseorang benar-benar menyadari “kemiskinan ilmunya”,
ia akan malu jika menghadap Allah dalam keadaan tidak compang-camping
padahal dalam Q.S. 47:38 Allah menegaskan hanya Dialah yang Maha Kaya?
Jika ada istilah “tidak ada yang menyerupai Allah”, maka para sufi
memang benar-benar membuktikan ucapan tersebut dengan memiskinkan
keadaan. Hanya orang yang dekat kepada Allah saja yang pantas memakai
pakaian terbaik di dunia. Padahal, semua orang tidak boleh mengklaim
kedekatan kepada Allah. Jika para sufi saja rela memakai baju
compang-camping (dalam tataran tertentu bahkan hingga mengemis), tentu
keadaan mereka yang mengaku jauh dari Allah ini sangat jauh lebih mulia
daripada kita yang senantiasa mengaku dekat dengan Allah. Kesombongan
apa yang kita miliki sehingga kita mengenakan pakaian mahal dan indah?
Sudah sejauh apa hubungan kita kepada Allah sehingga kita boleh
membanggakan diri? Dengan demikian, ternyata kisah cinta Qays dan Layla
yang seakan mendayu-dayu dan hanya mengagungkan cinta ini menyimpan
rahasia luar biasa bagi yang mau memahaminya.
Lebih jauh, kita bisa menganggap Layla benar-benar berarti “malam”.
Qays yang tergila-gila kepadanya menandakan orang-orang terpilih, yang
benar-benar mencintai Allah, yang mau terjaga pada malam buta sementara
orang lain (umat beragama lain) lebih memilih untuk tidur. Coba
bandingkan peristiwa orang gila yang mengejar Tuhan dalam malam hari ini
dengan Q.S. 25:64 dan Q.S. 52:48—49 berikut.
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (Q.S. 25:64)
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri.” (Q.S. 52:48)
“dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar).” (Q.S. 52:49)
Perintah Allah agar manusia menegakkan salat pada malam hari, atau
salat tahajjud, sebenarnya demi kepentingan manusia sendiri. Dalam buku
Mari Kembali ke Masjid dijelaskan bahwa dini hari menjelang subuh, waktu
yang disunnahkan bagi kita untuk salat tahajjud, merupakan salah satu
tanda istimewa yang berkaitan dengan hari akhir. Malam hari adalah
penanda alam kubur. Keadaan gelap gulitanya sama persis dengan keadaan
alam kubur orang-orang yang terbiasa hidup dengan cara menyakiti orang
lain selama di dunia. Selain itu, malam hari juga bisa menjadi penanda
keadaan umat manusia menjelang kiamat. Dalam berbagai riwayat, Nabi
Muhammad saw. menyatakan bahwa menjelang hari akhir, umat Islam memang
banyak, tapi mereka lemah. Alquran hanya dibaca tanpa diketahui
maknanya. Orang-orang bergantian mendirikan masjid, tapi mereka hanya
ingin bersaing tentang kemegahan masjid di suatu tempat dibandingkan
tempat lain. Keadaan umat yang semakin jauh dari keadaan umat Islam pada
zaman Rasulullah menunjukkan terjadinya kehancuran- pemahaman Islam
yang bertubi-tubi dari masa ke masa. Bisa dikatakan Islam sekarang tidak
lebih daripada sekadar “macan ompong” yang hanya bisa menggertak
sesaat, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tentu bukan salah agamanya jika
keadaan sudah demikian. Umatlah yang bersalah karena mereka seharusnya
mampu menjaga rahasia agama. Keadaan Islam yang lemah ini sangat tepat
jika digambarkan sebagai malam gelap yang membutuhkan cahaya penerang.
Lagipula, keadaan ini memang “syarat” demi terwujudnya Hari Kiamat.
Tidak mungkin ada cahaya matahari yang menyegarkan kehidupan,
mengembalikan langit biru, jika belum terjadi malam yang pekat.
Malam menjelang dini hari juga menjadi tanda penyingkapan Allah.
Bukankah terdapat hadis, “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi
tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat
dengan bumi pada sepertiga malam terakhir)? Qays yang mengejar Layla
jelas mengarah pada kedekatan Allah pada hambanya pada momen sepertiga
akhir malam ini. Jika ditarik lagi ke dalam pemahaman tentang Hari
Kiamat, subuh artinya kebangkitan manusia. Mereka yang terbiasa bangun
pada dini hari menjelang subuh insya Allah akan mampu pula terjaga dalam
kondisi mengingat Allah Yang Satu pada Hari Kebangkitan. Sebuah sajak
dengan tegas menjelaskan pelatihan umat Islam dalam salat malam dan
salat subuh ini, “Lihatlah di setiap subuh ke kemerahan ufuk barat sana.
Bersiagalah sebelum pagi terakhir menjemputmu kembali.”. Jadi, jelaslah
sudah. Pada titik luarnya, kisah Layla-Majnun mungkin hanya dibaca
sebagai kisah lelaki yang mengejar perempuan; tetapi di dalamnya, kisah
ini adalah kisah seorang pencari yang mengejar Tuhan sehingga memperoleh
kebijaksanaan yang oleh orang lain dianggap gila.
Nah, setelah mengetahui “rahasia” di balik Layla-Majnun, bagaimana
dengan Romeo dan Juliet? Kasusnya sama seperti Layla-Majnun. Kedua tokoh
sama-sama tergila-gila. Bahkan, ketika Juliet mengetahui bahwa Romeo
adalah anak keluarga Montague, dengan demikian ia tidak mungkin menikahi
Romeo, Juliet sudah menyadari takdir apa yang terbentang di depan
matanya. Sama persis dengan Layla-Majnun dan peristiwa menjelang
turunnya Adam ke bumi, Romeo dan Juliet yang saling cinta ini mesti
berlatih melewati keberjarakan hingga akhirnya sebuah peristiwa nyaris
menamatkan mereka: ketika Juliet hendak dinikahkan dengan Paris, sama
seperti Layla, dan sangat mirip ketika Adam memakan buah khuldi. Saat
itu, seseorang harus merasakan derita berpisah dengan pasangannya; dan
hal tersebut memang harus terjadi demi pembuktian cinta mereka.
Melihat ancaman pernikahan Juliet dengan Paris (sebenarnya Juliet dan
Romeo sudah dinikahkan Friar Lawrence, tapi dilakukan secara rahasia
karena permusuhan kedua keluarga), Friar Laurence menyarankan agar
Juliet pura-pura menyetujui pernikahan yang diatur ayahnya. Ketika pagi
hari menjelang pernikahan, Juliet harus minum ramuan yang akan
membuatnya seolah-olah seperti sudah meninggal. Romeo yang tidak tahu
apa-apa, berlari untuk menemui kekasihnya yang sudah tiada.
Setelah sekian hal yang mirip dengan Layla-Majnun, bagian yang paling
dramatis tentu saja ketika Layla dan Juliet sama-sama meninggalkan
kekasihnya terlebih dahulu. Meskipun Juliet hanya meninggal sementara,
pada hakikatnya “tugas” Juliet adalah untuk menunjukkan betapa tidak
bisa hidupnya Romeo tanpa dirinya. Romeo hanya ingin melihat Juliet yang
senyatanya. Juliet yang mencintai dan dicintainya, tetapi tak bisa
bertemu dalam hidup yang fana. Kasus yang sama menimpa Majnun. Ketika
kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri, Majnun
pun jatuh pingsan di tengah gurun sahara. Ia tak sadarkan diri selama
beberapa hari. Saat sadar, Majnun dengan kondisi badan yang lemah,
berangkat ke pemakaman Layla. Ia berkabung di kuburan Layla selama
beberapa hari. Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban
penderitaannya, per1ahan-lahan Majnun meletakkan kepalanya di kuburan
Layla hingga meninggal dunia dengan tenang.
Pesan kedua kisah ini sama: tidak ada yang mampu menjangkau cinta
yang senyatanya di dunia ini. Layla dan Juliet adalah lambang cinta
tersebut, penanda Allah. Untuk menjangkau cinta, seseorang harus mati:
harus menyerahkan diri tanpa perlawanan dan tanpa harapan seperti Romeo
dan Majnun.
Ingatlah pula bahwa sebenarnya Romeo dan Juliet sudah menikah secara
rahasia di bawah tangan Friar Laurence. Alasan dirahasiakannya
pernikahan tersebut adalah demi kenyamanan keluarga; demi tidak adanya
pelanggaran peraturan. Jika kita mendekati kisah ini dari sudut pandang
sosiologi semata, memang yang terlihat hanya pemberontakan pada gejolak
politik, sosial, dan ekonomi pada masa itu semata. Tapi, jika kita mampu
melewati batas-batas sosiologis tersebut, kisah Romeo dan Juliet sama
persis dengan peristiwa Allah dan Adam ketika menghadapi tuduhan
malaikat bahwa Adam akan menciptakan kerusakan di bumi. Allah tidak
langsung menjelaskan kemampuan Adam, Allah hanya berkata “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Mempertahankan rahasia
(bahwa Adam lebih unggul daripada makhluk) ini memang “harus” dilakukan
karena pada kenyataannya, sama seperti Nabi Khidr yang memberi tiga
wejangan kesabaran kepada Nabi Musa, ada hal-hal yang hanya bisa
dijelaskan seiring dengan berjalannya waktu. Jika hal-hal tersebut
didedah pada waktu yang belum tepat, ketika kebenaran belum terbukti,
kebenaran tersebut hanya akan menjadi sampah; tidak bernilai kebenaran.
Seandainya Allah berkata bahwa Adam lebih hebat daripada malaikat karena
memiliki cinta, Adam layak memimpin bumi karena di dalamnya ditiupkan
ruh Allah, maka tidak akan ada peristiwa turunnya Adam ke bumi. Dengan
demikian, tidak akan ada ruh manusia yang terjebak dalam tubuh. Tidak
ada keturunan Adam yang akan masuk surga; ruh-ruh manusia yang melewati
rintangan terjal berupa godaan dunia. Tidak ada malaikat yang melewati
nasib seperti manusia karena malaikat tidak memiliki hawa nafsu. Bahkan,
ketika malaikat Harut dan Marut meminta diturunkan ke bumi, menjadi
manusia karena penasaran dengan alasan Allah memilih manusia, mereka
gagal mengemban misi tersebut. Ketika anak Adam kelak masuk surga, di
sanalah malaikat akan terkesima karena menyadari betapa unggulnya
manusia daripada malaikat.
Demikian pula dengan pernikahan Romeo dan Juliet. Jika pernikahan
rahasia tersebut diumumkan terlalu dini, yang terjadi justru pergolakan
hebat. Bukan tidak mungkin pula yang terjadi justru lebih parah. Romeo
dan Juliet tidak hanya akan dikejar oleh masing-masing keluarga, tetapi
juga akan menyebabkan permusuhan keluarga Capulet dan Montague tidak
berujung. Ketika Romeo dan Juliet meninggal, sama seperti yang terjadi
pada malaikat yang akan mengakui keunggulan manusia, dengan intervensi
Pangeran Verona dan tuturan ampuh Friar Laurence tentang perjuangan
hebat antara Romeo dan Juliet, Keluarga Capulet dan Montague setuju
mengakhiri permusuhan di antara mereka. Seandainya Romeo dan Juliet
tidak meninggal dengan tragis demi cinta, tidak akan ada kata sepakat
antara kedua keluarga. Seandainya Romeo berhasil menerima surat Friar
Laurence bahwa Juliet hanya berpura-pura mati dan akhirnya mereka kabur,
yang muncul justru permusuhan abadi. Lebih jauh, seandainya Adam tidak
memakan buah khuldi, berkaitan dengan Romeo dan Juliet, tidak akan ada
kisah kekaguman malaikat kepada manusia, sekaligus membuat mereka malu
karena pernah berkata “mengapa Allah menciptakan orang yang akan
melakukan kerusakan di bumi”.
23.28 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar